PUISI DAN KEHIDUPAN YANG HILANG (AHYAR ANWAR)

Diposting oleh Unknown on Jumat, 11 Desember 2015


Ahyar Anwar

Puisi kadang hadir disela kehidupan kita, dengan serangkaian teka-teki kehidupan disusun dalam sebuah struktur kata-kata yang “aneh”. Tetapi dari sisi esensialnya,sebuah puisi, selalu menyembunyikan kekuatan makna yang dapat menjernihkan kembali ruang-ruang bawah sadar kita yang mulai banyak kehilangan kepekaannya! Meski dengan cara yang sedikit mengeruhkan. Sebuah puisi, kadang menawarkan problematika kemanusiaan atau lebih tepatnya menyimpulkan bahwa manusia adalah sebuah mahluk yang problematik dalam kontradiksi-kontradiksinya yang sangat kompleks.

Tak jarang pula, sebuah puisi  mencoba membawa sejarah pada faktanya, membawa ilusi pada kenyataannya. Hadirnya puisi, sejak Homeros di era Yunani Kuno,  juga menjadi sebuah tanda bahwa sastra tidak pernah letih menawarkan kenyataan, ketika kenyataan justru mulai memproduksi fiksi! Lihatlah bagaimana kekerasan, kekejaman, keculasan berlangsung dalam kehidupan keseharian kita dengan dekadensi moral yang melampaui fiksi!.

Sebuah puisi, kadang juga punya kegenitan-kegenitan, mencoba membongkar kembali “kuburan tua” tempat realitas dimaknai, setelah sekian lama, sastra belum juga diyakini sebagai sebuah epistemologi kehidupan, tempat kebenaran dapat dijustifikasi dari sudut pandang dunia yang berbeda. Pada banyak kalangan, sastra dalam bentuk puisi, belum dipercaya menjadi sebuah legitimasi untuk mengklaim kenyataan sebagai sebuah kesalahan atau kebenaran. Padahal epistemologi puisi, akan membawa kita untuk memahami kenyataan melalui diri kita sendiri. Berbeda dengan epistemologi positivis yang hanya mampu menelanjangi, menghujat, menilai, atau mengadili kenyataan diluar dirinya. Epistemologi puisi justru memberikan cara untuk menelanjangi, menghujat, menilai, atau mengadili kenyataan dalam diri kita sendiri.

Bukankah ketika kehidupan moral sosial-politik kita yang miris dan penuh carut marut ini, pertama-tama yang kita butuhkan sesungguhnya  adalah bagaimana membersihkan diri sendiri, daripada bagaimana menilai orang lain? Melalui kekuatan imajinasi, sastra melakukan pemetaan terhadap kenyataan, mengkonstruksi ilusi kehidupan baru dengan visi kedepan yang kuat tanpa tendensi mengaburkan sejarah. Satu penggalan kecil saja dalam sebuah teks puisi, dapat membuat kita memahami banyak fenomena kehidupan secara kuat dan fundamental.

Dengan bertumpu pada kekuatan imajinasi dan makna puitik, puisi itu sendiri adalah sebuah kekuasaan, kekuasaan yang tak tersentuh (invisible power). Seperti sebuah kekuasaan yang dimiliki oleh hentakan-hentakan cangkul para petani yang membuat kehidupan berdenyut. Inti kekuatan seorang petani bukan pada tubuhnya tapi pada spiritualitas tanggungjawabnya terhadap kehidupan.

Puisi, seperti juga sastra umumnya, dengan “invisible power” yang diusungnya adalah dasar dari gerakan sebuah “tubuh” bereaksi terhadap kenyataan. Kekuasaan sastra adalah kekuasaan rakyat seperti petani, tidak terjangkau untuk disentuh, tidak dapat dikontrol, dibatasi, apalagi dikekang atau dipasung, sastra tidak pernah bungkam dari kebenaran.

Tidak ada kekuasaan yang mampu mengendalikan imaji seseorang tentang kehidupan dan kebenaran yang diyakininya. Apapun yang akan tejadi, semua orang dapat melupakan atau bahkan mengingkarinya, tetapi puisi akan terus mengenangnya, menyimpannya, bahkan menggunakannya sebagai wajah. Apapun yang terjadi dalam kenyataan, puisi akan menggunakannya untuk berbicara, menjadikannya jejak-jejak yang terbaca. Tubuh-tubuh bisa dibatasi, dikendalikan, didisiplinkan, tapi imaji seseorang tetap tidak bisa tersentuh, tidak akan patuh!

Maka puisi adalah sebuah imaji perlawanan yang paling universal. Ketika sebuah timah panas kebencian dilesatkan menyusuri tubuh. Kematian mungkin akan tiba, tetapi  imaji perlawanan dan penegakan kebenaran dan keadilan tidak akan pernah dapat dihentikan.  Bahkan sebuah peluru tajam yang panas, hanya dapat merubuhkan tubuh saja, tapi tubuh yang rubuh itu akan menjadi momen puitik, yang akan justru memicu imaji yang beribu-ribu kali lipat kuatnya.
Pada sisi lain, Puisi tidak akan berhenti untuk terus menerus melakukan pengayaan dan penyuburan subjektivitas. Ketika Yeats (penyair besar kelahiran Irlandia pemenang nobel sastra) berada dalam kemiskinan, ia memilih puisi sebagai jalan “kekayaan”. Ketika Wiji Tukul (seorang penyair Tukang Becak) menuliskan puisi-puisinya, ia menunjukkan “kekayaan” imaji yang begitu kuat. Kekayaan yang mungkin telah lama bangkrut dalam kepala orang-orang kaya.

Ketika teknologi dalam arus besar globalisasi terus melakukan penghancuran ruang-ruang subjektivitas dan mengakomodasi pertumbuhan objek-objek dalam tubuh subjektivitas manusia. Ketika Mall-Mall lebih menjual identitas subjektif dari sekedar barang, puisi menawarkan jalan yang elegan untuk menelanjangi, menghujat, dan mengadili diri sendiri, menemukan sebuah hipertropi kemanusiaan. Bahwa sebagai manusia, humanisme kita telah berhenti untuk tumbuh, kita mengakomodasi lebih banyak ruang dalam tubuh kemanusiaan kita untuk ditumbuhi objek-objek.

Kesadaran kemanusiaan kita makin tumpul, sementara Hand Phone semakin canggih. Kita mulai hidup dalam sebuah banalitas serius yaitu kontradiksi yang kompleks. Bukankah kita mulai nyaman dengan membawa kekerasan dalam tubuh intektualitas kita. Banalitas adalah intelektual yang berjalan menuju masyarakat dengan pedang dan belati.

Inilah yang dikatakan Simmel dengan istilah “manusia telah kehilangan dirinya baik dalam sebuah lorong jalan buntu maupun dalam kehampaan kehidupan yang paling rasional”. Jika kita telah sampai diujung sebuah kesadaran tentang ruang kehidupan yang penuh dengan tanda-tanda tragedi kebudayaan; jika kita mulai menyongsong masa depan dengan visi yang kabur dan tujuan-tujuan yang terpecah-pecah, maka kita, tak pelak lagi, sedang tumbuh dengan sempurna  dalam transisi kejiwaan yang tidak sempurna! Maka mari menyelami puisi untuk bercermin; menelanjangi, menghujat, dan mengadili diri sendiri, untuk membersihkan kehidupan!

Puisi, identik dengan sebuah ruang kecil di jelaga kata-kata.  Ruang kecil itu, secara eksistensial justru mempunyai kekuatan dan spirit. yang melampaui  seluruh aktivitas makna dalam konstalasi kehidupan manusia dalam seluruh perkembangan peradaban. Hidup ini sepenuhnya “puitik”. Kalaupun ada yang dipahami tidak puitik, itu hanyalah sebuah pengingkaran kecil dari sebuah ketakutan atau ketidakpahaman tentang hidup itu sendiri.

Puisi adalah serangkaian kata yang terbebaskan. Ia terbebaskan dari segala kepentingan, termasuk oleh kepentingan pengarangnya sekalipun. Ia tidak dibebani konteks apapun sehingga dapat membicarakan dirinya dalam setiap perubahan sejarah, peradaban, ataupun peristiwa. Sehingga puisi tidak pernah sungguh-sungguh tersekat atau teralienasi dengan sekitarnya. Kalaupun ada yang menganggapnya sepi, maka mereka hanyalah orang-orang yang tidak mengerti apa-pa tentang kesepian.

Puisi sebagai sebuah ruang kecil, dari jelaga kata-kata, adalah ruang sederhana yang terbuka untuk di “datangi”, “dirampok”, ataupun “dikasihi”.  Selalu saja ruang kecil itu, dapat “ditembusi” dan secara timbal balik “menembusi” segala aktivitas dan kisah-kisah metafisik maupun “dunia” lokalitas yang disuarakan disekelilingnya. Dari percakapan kosong, percakapan tentang kegelisahan, sampai rahasia-rahasia yang disampaikan dengan berbisik sekalipun akan sampai diruang kecil itu.

Sebagai ruang kecil, puisi, menangkup segala gaung dan gema. Dalam puisi semua “suara-suara” ditangkup dan disuarakan kembali, semua sejarah dihidupkan kembali. Secara pervasif, suara-suara kehidupan di cerap dan diikuti irama puitiknya, mulai dari suara sungai, kuburan, angin, bom, nada kecapi patah,  bisikan hati, ombak, sampai desah nafas kematian, rintihan kecil, laut, sejarah, halilintar, hingga desahan jiwa.

Eklektisitas puisi adalah sebuah gerakan gema atau “suara yang dikembalikan”. Bayangkanlah, tentang sebuah gema yang dipantulkan secara beralun dan bertalu. Dengan makna dan tematik yang sama, gema selalu menawarkan irama eksotik yang berbeda. Dari titik inilah, puisi jadi sebuah gema yang menawarkan pantulan suara-suara untuk di”dengarkan” kembali. Puisi mempunyai frekuensi gema yang sesungguhnya tidak pernah habis dalam sistem kosmos. Kemampuan dan kemapanan pendengaran manusia saja yang sangat terbatas, yang membuat sebuah gema seakan-akan habis dan hilang. Maka puisi, lebih tegasnya mengharap sebuah kepekaan yang lebih, dari siapapun yang secara utuh ingin mendengar suara tentang sesuatu yang disuarakan.

Tahun 1940-an T.S. Eliot, seorang penyair kenamaan Inggeris menuliskan sajak “Orang-Orang Kosong”, dan menyuarakan sebuah bisikan-bisikan kebisuan :

Kami orang-orang kosongKami orang-orang sumpalanBersandar bersamaKepala penuh sumpalan jerami. Ah!Kalau kami berbisik bersamaSuara kami yang keringSepi dan tanpa maknaBagaikan angin di rumput keringAtau kaki tikus lewat pecahan kacaDi gudang kami yang  kering

Pertanyaan yang pantas kita ajukan adalah : apakah T.S. Eliot menciptakan bisikan-bisikan itu? Apakah sajak tentang orang-orang kosong adalah sebuah karya tulis?
Betulkah penyair menciptakan puisi?

Seorang penyair besar yang berasal dari Ceko, bernama Jan Skacel dengan tegas menegaskan tentang puisi dalam puisinya bahwa.

“penyair tak menciptakan puisi,.. penyair hanya menemukannya”.
Pernyataan tersebut, tidak hanya membuat puisi sebagai sebuah wilayah “second meaning” (pemaknaan kedua) menjadi semakin rumit, tetapi juga melahirkan serangkaian pertanyaan yang perlu ditemukan jawabannya setelah sebuah puisi dituliskan dan “dibaca”.

Menurut Skacel. “Puisi ada disuatu tempat yang tersembunyi”.

Pertanyaannya apakah seorang penyair saja yang dapat menemukan puisi itu? Dan sungguh-sungguh puisikah yang ditemukan itu?.  Sebelum mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, kita perlu tambahan kalimat dari Skacel bahwa “Ia (puisi itu) ada disana selama-lamanya, penyair hanya menemukannya”.  Seorang penyair, dengan demikian hanya menarik sesuatu dari tempatnya dan memberi sesuatu itu kata-kata dan menasbihkannya sebagai puisi. Maka asumsi tersebut setidaknya terkait dengan sistem kepengarangan yang dikemukakan Sartre bahwa pengarang tidak menaruh penderitaan pada karyanya sebagaimana pelukis tidak menaruh seorang (model) pada kanvasnya, yang ada hanyalah pengarang mendapat ilham dari sebuah penderitaan, tapi penderitaan itu tetaplah sebuah penderitaan.

Dengan demikian, sebuah puisi mungkin saja membuat sebuah penderitaan atau cinta menemukan nuansanya yang paling dalam sekaligus estetik dan mungkin juga filosofis. Puisi, dapat mengantar seseorang untuk sampai pada wilayah reflektif dari sebuah penderitaan dan cinta, tetapi puisi tidak pernah dapat menolong siapapun termasuk penyairnya untuk keluar dari penderitaan itu atau memahami eksistensi cinta itu sendiri. Penderitaan dan cinta, tetap ada ditempatnya ditemukan oleh seorang penyair. Maka pembacaan sebuah puisi harusnya juga sampai pada tempat dimana penyair menemukan “puisi” itu.

Selanjutnya kita akan sampai pada sebuah konsepsi atas kepenyairan yang dikemukakan oleh Foucault bahwa seorang penyair adalah sang pemberi makna (signifier). Gagasan tersebut, menempatkan posisi penyair sebagai penunjuk jejak dan sebagai arsitektur “ruang” dimana sesuatu yang ditemukan sebagai puisi itu dapat ditempatkan sebagai puisi. Seorang penyair tidak ingin menunjukkan bagaimana membuat puisi, tetapi menunjukkan dimana puisi itu ditemukan dan bagaimana puisi itu dapat ditempatkan sebagai puisi melalui pelampauan batas-batas dari eksistensi orisinil ketika puisi itu ditemukan ditempat awalnya.

Membaca puisi, berarti membaca pemaknaan dari sesuatu yang diangkat sebagai puisi dan sekaligus mengantarkan kita pada asal makna tersebut ditemukan dan bagaimana makna itu dapat kita gunakan memahami banyak hal serupa yang ada dalam kehidupan kita melampaui tempat awal makna itu diangkat. Maka seorang penyair tidak dibesarkan oleh puisinya tetapi dilampaui oleh kekuatan makna yang ditemukannya. Seorang penyair besar, mempunyai karya-karya puisi yang melampaui eksistensinya, terlebih dahulu ditemukan kekuatan karyanya sebelum mencari penyairnya. Maka pula, sebuah kesalahan besar membaca sebuah puisi berdasarkan siapa yang menemukannya, tetapi membaca puisi harus dimulai dari puisi itu sendiri tanpa harus berakhir pada siapa yang mengarangnya.

Puisi adalah sebuah eksistensi individual dari apa yang ditemukan penyair dari suatu “tempat”. Lebih jauh, Puisi, dengan demikian harus diposisikan sebagai sebuah “individu” yang disantuni oleh seorang penyair sebagai hasil “persetubuhannya” dengan berbagai aspek realitas. Kekuatan sebuah persetubuhan sendiri berakhir pada sebuah pencapaian orgasme ilusi atas sesuatu. Sebab sebagai individu, puisi tentu saja bukanlah sesuatu yang ditemukan oleh penyair, yang ditemukan penyair itu selalu saja ada ditempatnya. Puisi, juga bukan bagian dari penyair atau penyair itu sendiri, sebab puisi dapat melampaui penyair yang melahirkannya.

Puisi adalah puisi itu sendiri. Sehingga sebuah puisi tidak dapat begitu saja di kontekskan dengan sesuatu tempat dimana puisi itu ditemukan. Sebuah puisi merupakan “individu” yang mempunyai situasi acuan pada dirinya sendiri dan hal itulah yang membuat puisi itu lebih bebas tanpa sekat ruang waktu dibandingkan situasi tempat ditemukannya dan pengarangnya sendiri. Sutardji C. Bachri, pernah menyatakan bahwa ia tidak mencari kata, tapi ia melakukan sesuatu agar katalah yang datang padanya. Kata yang dirajut Sutardji dalam puisinya bukanlah Sutardji, ia adalah kata itu sendiri yang mewakili sesuatu yang dimaknakannya. Sutardji sendiri tak pernah punya arti bagi dan dari kata-kata yang dituliskannya sendiri sebagai puisi.

Orgasme ilusi dari sebuah puisi, menunjukkan persetubuhan antara penyair dengan sesuatu yang ditemukannya (bahkan pada dirinya sendiri sekalipun). Ilusi puitik, sekali lagi bukanlah sesuatu yang ditemukan pengarang, bukan pula pengarang itu sendiri. Ilusi puitik adalah puisi itu sendiri, tetapi tidak semua puisi mempunyai ilusi puitik yang kuat. Kekuatan ilusi sangat tergantung dari kekuatan pamaknaan pengarang dalam persetubuhannya dengan sesuatu yang diangkatnya dalam puisi.

Hal tersebut, sekaligus menjawab pertanyaan mengapa sesuatu menjadi sebuah puisi?. Karena seorang penyair menemukan orgasme ilusi didalam realitasnya!. Lalu, apa pentingnya sebuah ilusi atau lebih tegas lagi apa pentingnya sebuah puisi?.  Kita dapat kembali pada Skacel yang mengatakan.

“puisi, selamanya menunggu kita, abadi selama-lamanya”.

Konteksnya, dapat secara ekstrim kita hubungkan langsung dengan eksistensi puisi-puisi Homeros yang dilahirkan bebarapa abad lampau. Puisi Homeros tersebut, telah melampaui hidup Homeros sendiri bahkan terlalu berlebihan, tetapi itu hanya menunjukkan puisi bukan penyair dan hal itu bukanlah sesuatu yang terlalu penting.

Yang terpenting adalah puisi tidak mengalami sekali penemuan oleh penyair, tetapi ia menggelambir secara abadi pada sejarah itu sendiri dan menunggu ditemukan kembali. Dengan demikian sifat-sifat puisi juga historis yaitu melintasi zaman, melewati perubahan-perubahan tanpa kehilangan maknanya sebagai makna. Hal ini, tidak saja meneguhkan bahwa puisi tidak dituliskan tetapi ditemukan dan tetap ada ditempatnya, tetapi puisi juga menaungi sesuatu yang melekat padanya (termasuk penyair) untuk ikut menjadi sejarah, dan lebih dalam lagi, puisi membantu orang (siapapun) yang menemukannya  untuk menemukan kenyataan atas dirinya sendiri. Demikianlah, bahkan Milan Kundera sekalipun menyakini bahwa setelah sebuah puisi ditemukan maka puisi itu akan terus menunggu untuk ditemukan lagi kelak suatu ketika. Maka tidaklah penting siapa penyair yang menemukan sebuah puisi tetapi yang penting apakah yang ditemukan seorang penyair adalah sebuah puisi yang membuat kita lebih dalam dan tegas lagi mengenali diri sendiri sebagai manusia?.

Maka orang-orang kosong dalam sajak T.S. Eliot adalah sebuah ruang kehidupan yang harus kita jawab, sebab kekosongan adalah sebuah pertanyaan. Maka jawabannya selalu ada pada kearifan dan kemanusiaan kita. Sebab jika kita juga diam, maka bukan salah penyair yang telah menunjukkan sebuah kenyataan dalam sajaknya yang terbuka. Bukan salah penyair menuliskan apa yang sungguh ia temukan. “Orang-orang kosong” adalah serumpun manusia-manusia yang menaruh harapannya pada kemanusiaan sesamanya, dan jika kita masih saja diam maka satu-satunya harapan yang tersisa hanyalah kematiannya, seperti dituliskan dengan keresahan yang dalam oleh Eliot :

Dari kerajaan senjakala maut
Satu-satunya harapan
Orang-orang kosong
Suara dari ruang kecil dihati yang hanya bisa berbisik. Dan seberapa bisa kita menangkap bisikan itu, disitulah kemanusiaan kita terukur maknanya; disitulah kemanusiaan kita temukan.

Ahyar Anwar

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar