![]() |
KAHLIL GIBRAN |
Khalil Gibran (juga dieja Khalil Gibran; lahir Gibran Khalil Gibran, lahir di Lebanon, 6 Januari 1883 – meninggal di New York City, Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun) adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon Amerika. Ia lahir di Lebanon (saat itu masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani) dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.
Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.
Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.
Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kahlil_Gibran
Kehidupan merupakan sebuah pulau di lautan kesepian, dan bagi pulau itu bukti karang yang timbul merupakan harapan, pohon merupakan impian, bunga merupakan keheningan perasaan, dan sungai merupakan damba kehausan.
Hidupmu, wahai saudara-saudaraku, laksana pulau yang terpisah dari pulau dan daerah lain. Entah berapa banyak kapal yang bertolak dari pantaimu menuju wilayah lain, entah berapa banyak armada yang berlabuh di pesisirmu, namun engkau tetap pulau yang sunyi, menderita kerana pedihnya sepi dan dambaan terhadap kebahagiaan. Engkau tak dikenal oleh sesama insan, lagi pula terpencil dari keakraban dan perhatian.
Saudaraku, kulihat engkau duduk di atas bukit emas serta menikmati kekayaanmu -bangga akan hartamu, dan yakin bahwa setiap genggam emas yang kau kumpulkan merupakan mata rantai yang menghubungkan hasrat dan pikiran orang lain dengan dirimu.
Di mata hatiku engkau kelihatan bagaikan panglima besar yang memimpin bala tentara, hendak menggempur benteng musuh. Tapi setelah kuamati lagi, yang nampak hanya hati hampa belaka, yang tertempel di balik longgok emasmu, bagaikan seekor burung kehausan dalam sangkar emas dengan wadah air yang kosong.
Kulihat engkau, saudaraku, duduk di atas singgasana agung; di sekelilingmu berdiri rakyatmu yang memuji-muji keagunganmu, menyanyikan lagu penghormatan bagi karyamu yang mengagumkan, memuji kebijaksanaanmu, memandangmu seakan-akan nabi yang mulia, bahkan jiwa mereka melambung kesukaan sampai ke langit-langit angkasa.
Dan ketika engkau memandang kelilingmu, terlukislah pada wajahmu kebahagiaan, kekuasaan, dan kejayaan, seakan-akan engkau adalah nyawa bagi raga mereka.
Tapi bila kupandang lagi, kelihatan engkau seorang diri dalam kesepian, berdiri di samping singgasanamu, menadahkan tangan ke segala arah, seakan-akan memohon belas kasihan dan pertolongan dari roh-roh yang tak nampak -mengemis perlindungan, karena tersisih dari persahabatan dan kehangatan persaudaraan.
Kulihat dirimu, saudaraku, yang sedang mabuk asmara pada wanita jelita, menyerahkan hatimu pada paras kecantikannya. Ketika kulihat ia memandangmu dengan kelembutan dan kasih keibuan, aku berkata dalam hati, "Terpujilah Cinta yang mampu mengisi kesepian pria ini dan mengakrabkan hatinya dengan hati manusia lain."
Namun, bilamana kuamati lagi, di sebalik hatimu yang bersalut cinta terdapat hati lain yang kesunyian, meratap hendak menyatakan cintanya pada wanita; dan di sebalik jiwamu yang sarat cinta, terdapat jiwa lain yang hampa, bagaikan awan yang mengembara, menjadi titik-titik air mata kekasihmu...
Hidupmu, wahai saudaraku, merupakan tempat tinggal sunyi yang terpisah dari wilayah penempatan orang lain, bagaikan ruang tengah rumah yang tertutup dari pandangan mata tetangga. Seandainya rumahmu tersalut oleh kegelapan, sinar lampu tetanggamu tak dapat masuk meneranginya. Jika kosong dari persediaan kemarau, isi gudang tetanggamu tak dapat mengisinya. Jika rumahmu berdiri di atas gurun, engkau tak dapat memindahkannya ke halaman orang lain, yang telah diolah dan ditanami oleh tangan orang lain. Jika rumahmu berdiri di atas puncak gunung, engkau tak dapat memindahkannya atas lembah, karena lerengnya tak dapat ditempuh oleh kaki manusia.
Kehidupanmu, saudaraku, dibaluti oleh kesunyian, dan jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, engkau bukanlah engkau, dan aku bukanlah aku. Jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, aku akan percaya kiranya aku memandang wajahmu, itulah wajahku sendiri yang sedang memandang cermin.
(Dari 'Suara Sang Guru')
Kehidupan merupakan sebuah pulau di lautan kesepian, dan bagi pulau itu bukti karang yang timbul merupakan harapan, pohon merupakan impian, bunga merupakan keheningan perasaan, dan sungai merupakan damba kehausan.
Hidupmu, wahai saudara-saudaraku, laksana pulau yang terpisah dari pulau dan daerah lain. Entah berapa banyak kapal yang bertolak dari pantaimu menuju wilayah lain, entah berapa banyak armada yang berlabuh di pesisirmu, namun engkau tetap pulau yang sunyi, menderita kerana pedihnya sepi dan dambaan terhadap kebahagiaan. Engkau tak dikenal oleh sesama insan, lagi pula terpencil dari keakraban dan perhatian.
Saudaraku, kulihat engkau duduk di atas bukit emas serta menikmati kekayaanmu -bangga akan hartamu, dan yakin bahwa setiap genggam emas yang kau kumpulkan merupakan mata rantai yang menghubungkan hasrat dan pikiran orang lain dengan dirimu.
Di mata hatiku engkau kelihatan bagaikan panglima besar yang memimpin bala tentara, hendak menggempur benteng musuh. Tapi setelah kuamati lagi, yang nampak hanya hati hampa belaka, yang tertempel di balik longgok emasmu, bagaikan seekor burung kehausan dalam sangkar emas dengan wadah air yang kosong.
Kulihat engkau, saudaraku, duduk di atas singgasana agung; di sekelilingmu berdiri rakyatmu yang memuji-muji keagunganmu, menyanyikan lagu penghormatan bagi karyamu yang mengagumkan, memuji kebijaksanaanmu, memandangmu seakan-akan nabi yang mulia, bahkan jiwa mereka melambung kesukaan sampai ke langit-langit angkasa.
Dan ketika engkau memandang kelilingmu, terlukislah pada wajahmu kebahagiaan, kekuasaan, dan kejayaan, seakan-akan engkau adalah nyawa bagi raga mereka.
Tapi bila kupandang lagi, kelihatan engkau seorang diri dalam kesepian, berdiri di samping singgasanamu, menadahkan tangan ke segala arah, seakan-akan memohon belas kasihan dan pertolongan dari roh-roh yang tak nampak -mengemis perlindungan, karena tersisih dari persahabatan dan kehangatan persaudaraan.
Kulihat dirimu, saudaraku, yang sedang mabuk asmara pada wanita jelita, menyerahkan hatimu pada paras kecantikannya. Ketika kulihat ia memandangmu dengan kelembutan dan kasih keibuan, aku berkata dalam hati, "Terpujilah Cinta yang mampu mengisi kesepian pria ini dan mengakrabkan hatinya dengan hati manusia lain."
Namun, bilamana kuamati lagi, di sebalik hatimu yang bersalut cinta terdapat hati lain yang kesunyian, meratap hendak menyatakan cintanya pada wanita; dan di sebalik jiwamu yang sarat cinta, terdapat jiwa lain yang hampa, bagaikan awan yang mengembara, menjadi titik-titik air mata kekasihmu...
Hidupmu, wahai saudaraku, merupakan tempat tinggal sunyi yang terpisah dari wilayah penempatan orang lain, bagaikan ruang tengah rumah yang tertutup dari pandangan mata tetangga. Seandainya rumahmu tersalut oleh kegelapan, sinar lampu tetanggamu tak dapat masuk meneranginya. Jika kosong dari persediaan kemarau, isi gudang tetanggamu tak dapat mengisinya. Jika rumahmu berdiri di atas gurun, engkau tak dapat memindahkannya ke halaman orang lain, yang telah diolah dan ditanami oleh tangan orang lain. Jika rumahmu berdiri di atas puncak gunung, engkau tak dapat memindahkannya atas lembah, karena lerengnya tak dapat ditempuh oleh kaki manusia.
Kehidupanmu, saudaraku, dibaluti oleh kesunyian, dan jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, engkau bukanlah engkau, dan aku bukanlah aku. Jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, aku akan percaya kiranya aku memandang wajahmu, itulah wajahku sendiri yang sedang memandang cermin.
(Dari 'Suara Sang Guru')
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar